Minggu, 02 Desember 2012

Contoh Naskah Drama


NASKAH DRAMA

JUDUL          : LIDAH TAK BERTULANG
Karya              : Drs. U. Nurochmat
Pelaku             :
1. Irma             : Pelajar SMP
2. Esti              : Pelajar SMP
3. Janet            : Pelajar SMP
4. Reni             : Pelajar SMP (siswa baru)

Drama berlangsung dengan latar di sebuah warung yang mangkal di pinggir jalan di depan sekolah. Namun warung tersebut masih tutup. Pagi itu cukup cerah ketika Lena, Esti, Janet, dan seorang siswi baru sedang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Irma datang tergopoh-gopoh karena kesiangan.

Adegan I
IRMA             : (heran melihat teman-temannya malah berkumpul di warung Pak Edi) Hei, kok, masih pada mejeng di sini? (memandang ke arah kiri panggung) lho, sekolah kita sepi? (Esti tidak jadi menjawab karena Irma langsung memotong) Sebentar-sebentar … (meletakkan telunjuk menyilang di bibirnya seraya berpikir) Ini pasti ulah guru-guru kita. (menatap satu persatu teman-temannya dengan hati-hati) Mereka sedang rapat, kan?
ESTI                : Memangnya kemarin kamu tidak membaca pengumuman di mading? Ketua kelas kita saja mengumumkan di depan kelas.
IRMA             : Gimana mau baca? Aku kan nggak masuk sekolah.
JANET            : Makanya kalau sekolah yang rajin, sehingga tidak ketinggalan informasi. IRMA               : (Menyadari ada anak baru, Irma meliriknya) Ini siapa, ya?
ESTI                : Oya, aku sampai lupa. Kenalkan, ini Reni. (pada siswi baru) Ren, kenalkan ini teman kita Irmawati. (Irma dan Reni bersalaman)
RENI              : Reni Ambarsari.
IRMA                         : Irmawati. Kamu siswa baru di sini? (Reni mengangguk dengan ramah) pindahan dari mana?
RENI              : Aku pindah dari Bandung. Dari SMP Negeri 2.
ESTI                : Kalian berbincang-bincang dulu, ya! Aku kangen sama toilet dulu.
JANET            : Huh, dasar beser! (mengiringi kepergian Esti)

Adegan II
JANET            : Nah, sekarang mumpung lagi libur. Kita adakan acara perkenalan dengan Reni, bagaimana?
IRMA            : Tepat! Tapi sayang, ya, Reni jadi belum bisa berkenalan dengan teman-teman sekelas kita, dan juga guru-guru kita. (berwajah menyesal).
JANET            : Itu, kan, masih banyak waktu. Besok juga bisa. (wajahnya mendadak ceria) Nah, bagaimana kalau kita ajak Reni ke Monas? Kita makan-makan di sana?
IRMA              : Tapi siapa yang bayar?
JANET            : Tenang saja! Kan, ada aku. (bergaya bos).
IRMA             : Kalau hari ini nggak libur, kamu pasti bisa disambut meriah oleh teman-teman dan guru di sini, Ren. Nanti kamu akan berkenalan dengan guru paling angker di sini. Namanya Pak Nurdin.
RENI              : (tersenyum penasaran) Memang ada?
IRMA          : Di Bandung pasti nggak ada. Guru ini galaknya nggak ketulungan. Kalau ngajar, nggak ada siswa yang berani berulah. Kalau salah sedikit saja, langsung segala caci maki berhamburan dari mulutnya yang item, tebel, tertutup kumis. Kaca mata tebalnya yang melorot akan terguncang-guncang. Pokoknya seru. Lucunya lagi, kalau dia marah, suka terbatuk-batuk kecapean. (Janet tidak kuat menahan tawa, sementara Reni hanya tersenyum)

Adegan III
Esti datang lagi dan duduk menjejeri Reni.
IRMA       : (Tidak peduli atas kedatangan Esti dan melanjutkan ceritanya). Kamu juga bisa melihat kepalanya yang botak dan licin, bahkan tuh, kepala bisa dipakai main pingpong, kali. (Janet semakin terbahak-bahak sementara Reni tetap tersenyum).
ESTI                : (ingin tahu) Siapa, Ir? IRMA : Pak Nurdin, guru Matematika kita.
ESTI                : Apa? (kaget) Ir!
IRMA         : Nih, aku sebutkan teman-teman yang sudah jadi korbannya … (menengadahkan telapak tangannya untuk menghitung, lalu merenung) Pokoknya 90 persen murid di sini pasti sudah pernah kena marahnya.
ESTI                : Irma!
IRMA            : Nah, Esti juga pernah disuruh berdiri dengan tangan direntangkan dan kaki diangkat sebelah. Sadis, kan?
ESTI                : Ir, sudah, dong! Tidak baik menjelek-jelekkan guru. Nanti kualat kamu!
IRMA               : Alah, nggak dijelek-jelekkan juga, memang sudah jelek, kok.
JANET         : Lagian, bisa aja si Irma bikin orang ketawa. (Masih dengan sisa tawanya) Sudah, ah, tar keburu siang. Gimana acaranya? Jadi tidak?
ESTI                : Acara apa?
JANET            : Kita mau ngajak Reni jalan-jalan ke Monas. Di sana kan, ada bakso yang enak. Kamu harus ikut! Ini, kan, acara penyambutan teman baru kita.
ESTI                : Bagus. Boleh. Aku setuju.
RENI              : Tapi, maaf, saya tidak bisa ikut. Lain kali saja, ya? Soalnya saya di sini numpang di rumah Ua. Tidak enak, kan, baru dua hari sudah berani kelayapan.
IRMA               : Memang kamu tinggal di daerah mana?
RENI              : Saya tinggal di Benhil. Nanti sewaktu-waktu main bersama Esti. (bersiap-siap) Saya pamit dulu, ya. Di rumah banyak pekerjaan.
ESTI                : Berani sendiri?
RENI              : Berani. Naik 213, kan? (Esti tersenyum) Assalamu alaikum!
ESTI, JANET, IRMA: Waalaikum salam.
IRMA              : Salam buat Uanya, ya!
RENI              : Insya Allah, nanti saya sampaikan. (keluar panggung sebelah kanan)

Adegan IV
ESTI                : Kenapa harus repot-repot menitip salam buat uanya pada Reni?
JANET            : Memangnya kamu mau menyampaikannya? Pasti uanya punya anak yang ganteng, kan?
IRMA              : Diam-diam rupanya teman kita ini punya simpanan. (senyum menggoda)
ESTI                : Uanya tidak punya anak, kok.
IRMA              : Terus kenapa nggak perlu titip salam sama Reni?
ESTI                : Setiap hari juga kita ketemu sama uanya Reni.
IRMA              : (Semakin heran) Di mana?
ESTI                : Ya, di sekolah kita. (Memasang tampang tanpa beban). Uanya Reni itu … Pak N u r d i n !!! (Melongok, kaget, terpana sehingga tidak bisa berbicara apa-apa). 
JANET            : (Menarik bahu Esti yang tetap bertampang tanpa beban) Gila, kamu, Es! Kenapa tidak dari tadi, kamu ngasih tau?
ESTI             : (Melirik ujung jari-jari tangan Janet yang menempel di bahunya, lalu menatap Janet sejenak) Kamu tadi tidak ingat ketika aku berkali-kali memotong ucapan dia (menunjuk ke arah Irma yang dengan lemas duduk di bangku panjang).
JANET            : Terus bagaimana, dong, jalan keluarnya? (menghiba pada Esti).
ESTI                : (Melangkah ke depan dengan tangan mengepal dan tegak) Begitulah mulut. Jika kita tidak dapat menjaganya, maka akan lebih tajam dari mata pedang. Bahkan ada pepatah: Mulutmu harimaumu.
IRMA                : (Wajah putus asa, suaranya lemah). Esti, sahabatku, tolonglah aku! Aku harus bagaimana?
JANET            : Jika cerita itu sampai ke telinga Pak Nurdin, oh, aku tidak bisa membayangkan Irma akan dicoreti wajahnya dengan spidol. Lalu disuruh teriak-teriak keliling kelas dengan kalimat,”Pak Nurdin, saya memang bermulut ember!” Dan itu disuruhnya dilakukan berulang-ulang sampai jam pelajaran matematika selesai, oh! (lirih).
IRMA            : Janet! (Membentak, hampir menangis) Jangan kamu takut-takuti aku seperti itu! Tanpa kamu takuti juga, aku sudah ketakutan.
ESTI                : Berdoa saja, semoga Reni tidak menyampaikannya. Jadikan ini sebagai pelajaran buat kita agar bisa memelihara lidah.
IRMA                 : Baiklah, aku mau bertobat (berlari ke arah kanan)
JANET, ESTI : Ir, tunggu! (berlari mengejar Irma).

-Selesai -

0 komentar:

Posting Komentar